Kamis, 03 Februari 2011

NU dan Muhammadiyah mana yang benar???


Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh. Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga.   Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan   menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll.
Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi, dan berbagai masalah lain. (kunjungi masalah khilafiah)
Alhamdulillah, perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari "madrasah" (school of thought)  berbeda, yang sesungguhnya sudah terjadi sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang   literalis) seperti Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya membuka pintu ijtihad, kembali kepada Quran dan Sunah, tidak boleh taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayul, bid'ah dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan --terutama di grass rootnya-- adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap sebagai sunah. Karena sifatnya yang dinamis,  praktis dan rasional, Muhammadiyah banyak diikuti oleh kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy'ari, 1926),  lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan.
Sebenarnya KH A Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib Minangkabawi,  ulama besar madzhab Syafi'i di Makkah. Ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH A Dahlan sangat tertarik dan mengembangkannya di Indonesia. Sedang KH Hasyim Asy'ari justru kritis terhadap pemikiran mereka...
Berikut secara ringkas perbedaan pandangan di antara keduanya:

Masalah
NU
Muhammadiyah
Aqidah
(Keduanya masih dalam bingkai Ahlu Sunah)
Mengikuti paham Asy'ariah/Maturidiah
Mengikuti paham salaf/Wahabi* (Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Qayyim)
Fiqh
Keharusan mengikuti salah satu madzhab (terutama Syafi'i)
Langsung kepada Al-Quran dan Sunah, dan tarjih (memilih pendapat yang terkuat)
Tasauf/tarikat
Menerima tasauf, dan tariqah yang mu'tabar (diakui)
Menolak tasauf dan tariqah
(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, misal HAMKA dengan tasauf modern-nya)
Pemikiran yang dominan
Pemikir klasik : Asy'ari, Al-Ghazali, Nawawi, dll
Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Qayyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
* Istilah Wahabi diberikan oleh kelompok lain, mereka sendiri lebih menyukai disebut muwahidin (orang yang mengesakan)

Bedanya Apa???
Memperbincangkan  tentang ranah perbedaan antara kedua organisasi sosial keagaan, yakni NU dan Muhammadiyah, bukan untuk menambah problem yang timbul sebagai akibat perbedaan itu, melainkan justru sebaliknya,  agar semakin mendekatkannya. Sebab ternyata dengan perbedaan itu, selain ada untungnya,   dalam hal-hal  tertentu,  ternyata merugikan kedua belah pihak dan bahkan semuanya.  

Salah satu contoh kecil  kerugian  itu adalah misalnya  mengganggu silaturrahmi. Orang NU tidak begitu  mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah,  dan sebaliknya. Orang Muhammadiyah tidak mudah diterima di sebuah departemen, jika pimpinan departemen itu   orang NU,  dan juga sebaliknya. Padahal mencari tenaga professional kadang sangat  sulit,  namun  masih dipersulit lagi oleh adanya  perbedaan kultur atau organisasi keagamaan itu.   

Jika hal demikian itu benar-benar terjadi, maka  organisasi sosial keagamaan tidak terlalu menguntungkan. Ukuran kualitas seseorang menjadi bertambah dengan variabel yang tidak mudah dipenuhi. Misalnya, disebut berkualitas jika  berasal dari paham keagamaan yang sama. Dengan  begitu maka, organisasi sosial keagamaan justru menjadi  sebab terjadinya keputusan rasional tidak dijalankan.  Akhirnya keadaannya menjadi aneh, mencari calon tukang potong rambut saja  bisa dilakukan secara   obyektif, -----> mencari yang ahli;  sementara,  mencari calon rektor misalnya, harus   memilih yang sealiran. Padahal  yang terpilih akhirnya belum tentu kualitasnya lebih baik.
Contoh seperti itu, ternyata di mana-mana terjadi  dan  cukup banyak jumlahnya. Sebagai akibatnya, organisasi tidak berhasil dijalankan secara obyektif, rasional , dan terbuka, sebagaimana tuntutan organisasi modern.  Organisasi menjadi tidak dinamis atau apalagi maju. Selain itu, pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal.  Dampak negative itu akan dialami oleh  masing-masing  anggota organisasi yang bersangkutan, menjadi serba terbatas.  
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya  hanya  berada pada ranah ritual saja. Lagi pula,  aspek ritual itu  juga tidak berada pada wilayah yang mendasar. Orang menyebutnya hanya pada aspek yang sifatnya cabang atau furu’.  Perbedaan itu hanya di seputar bagaimana ritual itu dijalankan. Misalnya, jamaáh NU ketika shalat subuh melengkapi dengan qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak.  
Selain itu, NU ketika shalat jumát,  adzannya dua kali, sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja. NU  setelah shalat fardhu  berdzikir bersama, sedangkan Muhajmmadiyah tidak. NU membiasakan membaca puji-pujian menjelang shalat berjamaáh, sedangkan Muhammdiyah tidak. Untuk menentuikan awal puasa atau mengakhirnya, Muhammadiyah   lewat pendekatan hisab, sedangkan NU menggunakan rukyat. Hasilnya kadang sama, tetapi sekali-kali  berbeda.
Persoalan ritual dalam Islam,  sebenarnya adalah merupakan bagian kecil  dari  keseluruhan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad,  atau dalam al Qurán itu sendiri. Dalam hal yang lebih luas, Islam mengajak umatnya menjalani kehidupan ini secara sempurna, mengembangkan semua aspek dalam dirinya. Islam mengajarkan bagaimana menggunakan akal pikirannya secara benar. Islam juga mengajarkan agar jiwa dan raganya  menjadi sehat.  Islam mengajarkan bagaimana agar ucapan, pikiran, hati,  dan anggota badannya selalu  dijaga agar bersih dan bahkan suci. Dalam Islam diajarkan tentang tazkiyatun nafs. Sedangkan kegiatan ritual, sekalipun sungguh amat penting, namun  hanyalah merupakan bagian kecil dari ajaran Islam.
Apa saja  yang terkait dengan ritual mestinya bukan diperdebatkan, melainkan seharusnya segera dijalankan. Berdedat soal ritual tidak akan membawa hasil, dalam arti diketemukan  mana yang paling duluan diterima dan yang ditolak oleh  Tuhan. Tidak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ritualnya diterima atau ditolak. Penerimaan dan atau penolakan kegiatan ritual adalah hak prerogative Tuhan sendiri.   Seseorang mungkin menang dalam berdebat, maka sebenarnya belum tentu benar-benar menang di hadapan Allah.  Bisa saja yang terjadi justru sebaliknya,  bahwa mereka yang kalah,  karena ritualnya dilakukan secara lebih khusuk dan ikhlas justru diterima. Sebaliknya,  pihak yang menang hanya akan mendapatkan kemenangannya di hadapan orang.

Ajaran Islam sedemikian luas, yaitu mengajarkan agar para umatnya kaya ilmu pengetahuan, menjadi manusia unggul dalam arti bertauhid, berhasil bisa dipercaya,  dan selalu menjaga kesucian dalam semua aspek kehidupannya. Selain itu, Islam mengajarkan tentang  tatanan sosial yang adil dan juga agar menjalankan semua pekerjaan atau amalnya   secara professional atau beramal saleh. Dalam al Qurán disebutkan bahwa siapa yang beriman dan beramal saleh akan selamat hidupnya, baik di dunia maupun di akherat.
Sebenarnya boleh saja di mana-mana  terjadi perbedaan atau  bahkan berdebat. Tetapi hendaknya  perdebatan itu   dalam soal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, membangun keadilan dan mencari cara  yang tepat dalam beramal saleh. Sebab berbeda dalam ilmu pengetahuan dan lainnya itu  akan melahirkan rakhmat. Artinya dengan  perbedaan dan perdebatan itu justru pengetahuan dan pengalaman seseorang  akan  semakin bertambah. Akan tetapi,  perbedaan dalam ritual secara berkepanjangan,  yang  didapat   sebaliknya, yaitu umat akan terpecah dan bercerai berai sebagaimana yang tampak selama ini.
Perbedaan dalam beritual sebenarnya sudah terjadi sejak zaman nabi. Banyak kisah tentang itu, misalnya   menyangkut tentang  pelaksanaan shalat dan bahkan juga haji. Setiap ada perbedaan di antara para sahabat  segera  dikonsultasikan langsung kepada Nabi. Maka,  jika ada pengaduan seperti itu,  selalu saja Nabi membenarkan semuanya. Artinya semua  yang telah dilakukan oleh sahabat dalam menjalankan ritual dibolehkan dan atau dibenarkan. Oleh karena itu, maka dengan perbedaan ritual itu sebenarnya tidak perlu masing-masing mengklaim,  bahwa diri atau kelompoknya yang paling benar.   
 Dalam soal  ritual, asalkan masih berada pada frame atau kerangka pokoknya, semua dibolehkan. Sedangkan menyangkut  cara yang detail-detail tidak perlu  harus diperdebatkan. Kalaupun harus ada yang  dipersoalkan adalah  menyangkut  kekhusukannya. Sebab Nabi dalam suatu riwayat,   pernah menyuruh salah seorang untuk mengulangi shalatnya, karena dinilai kurang khusu’.  Ternyata,  bukan terkait dengan persoalan yang sering diperdebatkan selama ini. Akhirnya, jika hal seperti itu dipahami dan dihayati bersama,  maka   kewajiban  agar supaya umat Islam  selalu menjaga persatuan  akan  berhasil dijalankan. Wallahu a’lam.